OPINI PUBLIK,—Kemana Muara Putusan BK DPRD Kab. Barru dalam Kasus HRD
(Studi Kasus Tuduhan Pelanggaran Kode Etik Anggota DPRD Kab. Barru: HRD: Bagian Ketiga)
Pada kesempatan ini, kita akan lanjutkan pembahasan artikel yang sebelumnya yang berjudul “Aroma “Abuse of Power” BK DPRD Kab. Barru dalam Kasus HRD (Studi Kasus Tuduhan Pelanggaran Kode Etik Anggota DPRD Kab. Barru HRD Bagian Kedua) dan untuk mendapatkan. pemahaman yang utuh, kami persilahkan juga membaca artikel kami sebelumnya yang berjudul “Independensi Hukum vs Intimidasi Massa (Studi Kasus Tuduhan Pelanggaran Kode Etik Anggota DPRD Kab. Barru: HRD). Dan kali ini kita akan kupas “Kemana Muara Putusan BK DPRD Kab. Barru dalam Kasus HRD”.
Kewenangan dalam hukum administrasi negara merupakan amanah. yang lahir dari norma hukum. la bukan sekadar kekuasaan, melainkan mandat publik yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan kompetensi. Tanpa pemahaman yang memadai terhadap batas dan tujuan wewenang, pejabat publik berisiko menggunakannya secara keliru atau bahkan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi maupun politik.
Dalam teori hukum, kewenangan yang diberikan oleh undang-undang memiliki karakter delegatif dan limitatif. Artinya, setiap pejabat hanya berwenang sejauh yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Namun, dalam praktik pemerintahan, sering kali batasan ini diabaikan
karena rendahnya kapasitas intelektual dan etika pejabat. Ketika kewenangan besar diberikan kepada individu yang tidak memahami prinsip hukum, maka terjadilah ketimpangan antara kekuasaan dan tanggung jawab hukum.
Ketidakmampuan dalam memahami substansi hukum administrasi sering memicu tindakan maladministrasi. Pejabat yang tidak kompeten cenderung bertindak berdasarkan intuisi, tekanan politik, atau kepentingan jangka pendek, bukan berdasarkan prinsip legalitas dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Dalam konteks ini, hukum kehilangan fungsinya sebagai pengendali kekuasaan (instrument of control), dan berubah menjadi alat pembenaran tindakan sewenang-wenang.
Salah satu prinsip utama dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah asas proporsionalitas, yang menuntut agar setiap penggunaan kewenangan seimbang antara tujuan dan akibat yang ditimbulkan. Pejabat yang tidak kompeten sering gagal menilai keseimbangan ini. Mereka mungkin menjatuhkan sanksi berlebihan atas pelanggaran kecil, atau sebaliknya, membiarkan pelanggaran besar tanpa tindakan tegas. Ketimpangan seperti ini menunjukkan lemahnya kapasitas dalam menerapkan hukum secara adil dan rasional.
Fenomena penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan konsekuensi logis dari rendahnya kompetensi hukum pejabat publik. Mereka mungkin memahami bahwa mereka “berwenang”, tetapi tidak memahami untuk apa kewenangan itu diberikan. Tujuan hukum yang seharusnya melindungi kepentingan umum berubah menjadi alat untuk
menegaskan kepentingan pribadi atau kelompok. Di sinilah hukum. kehilangan sifat keadilannya.
Dalam praktik politik lokal maupun nasional, kita kerap melihat bagaimana lembaga-lembaga etik atau pengawasan justru menjadi alat politik karena dijalankan oleh orang yang tidak memiliki integritas dan kompetensi. Padahal, lembaga semacam ini seharusnya menjunjung tinggi objektivitas dan prinsip due process. Ketika kewenangan besar digunakan tanpa pemahaman etis dan hukum, lembaga tersebut justru memperlemah sistem pengawasan dan memperkuat budaya impunitas.
Dalam hukum administrasi negara, setiap pejabat memiliki kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Namun, untuk menggunakan kewenangan itu harus memenuhi tiga syarat utama (menurut Indroharto, pakar hukum administrasi Indonesia):
1. Wewenang harus sah (rechtmatig) bersumber dari peraturan hukum yang jelas.
2. Cara pelaksanaannya harus sesuai prosedur (formil).
3. Tujuannya harus sesuai dengan maksud pemberian wewenang (materiil).
Kalau pejabat tidak kompeten, maka tiga hal di atas sering dilanggar, sehingga muncullah:
1. Maladministrasi,
2. Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir),
3. Tindakan sewenang-wenang (willekeur)
Ketua Badan Kehormatan DPRD memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi etika. Jika ia tidak paham prosedur hukum, tidak objektif, atau tidak. memahami makna “proporsionalitas sanksi”, maka kewenangan besar itu bisa berubah menjadi alat politik atau dendam pribadi. Padahal pemegang Kekuasaan harus. digunakan secara seimbang antara tujuan dan dampak atau dengan kata lain jika sanksi terlalu berat dibanding pelanggaran, berarti pejabatnya tidak kompeten menggunakan kewenangannya. Olehnya itu kewenangan yang besar menuntut kompetensi yang sepadan. Tanpanya, hukum hanya menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan. kewenangan harus memiliki Asas Proporsionalitas
Terus bagaimana bila Badan Kehormatan DPRD tidak menjalankan fungsi peradilan atas dasar profesionalisme, proporsionalitas, keadilan dan kesetaraan? Beberapa disiplin ilmu hukum bisa menjelaskannya. Karena dalam sistem hukum Indonesia, berlaku prinsip: “The greater the power, the greater the responsibility.” Artinya, semakin besar kewenangan seseorang, semakin besar pula tanggung jawab hukumnya. Pejabat publik tidak bisa bersembunyi di balik jabatannya. Semua tindakan yang dilakukan dalam kapasitas resmi harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dalam ilmu hukum di Pasal 421 KUHP disebutkan “Seorang pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”. Dalam konteks sanksi etik yang diterima Pihak HRD, apabila Pihak HRD bisa membuktikan
tindakan penyalahgunaan yang dilakukan Badan Kehormatan DPRD Kab. Barru dalam kasus yang menimpanya maka pasal ini bisa dia ajukan sebagai bentuk perlawanan.
Karena secara umum, pemberhentian anggota DPRD tidak bisa dilakukan secara asal-asalan atau semena-mena, apatah lagi jika mengindahkan asas-asas hukum. Ada 2 aturan umum nasional yang mengatur pemberhentian seseorang dari jabatan anggota DPRD, yakni :
1. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan
2. PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Tata Tertib DPRD (dan Putusan Ketua DPRD masing-masing daerah)
Pemberhentian hanya sah jika melalui:
1. Usulan partai politik yang bersangkutan,
2. Ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota atas usul pimpinan DPRD.
3. Berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. atau pelanggaran etik berat sesuai peraturan internal DPRD.
Jika seseorang diberhentikan tanpa prosedur itu (misalnya karena tekanan politik atau penyalahgunaan wewenang pejabat tertentu), maka:
1. Ada pelanggaran administrasi,
2. Bisa ditindaklanjuti melalui PTUN, dan
3. Jika terbukti ada unsur penyalahgunaan kekuasaan untuk menyingkirkan seseorang secara tidak sah, maka bisa dijerat Pasal 421
KUHP atau bahkan Pasal 3 UU Tipikor bila ada motif keuntungan. tertentu.
Dari tinjauan ilmu hukum administrasi, selain pidana, abuse of power juga dapat diproses secara administratif. Menurut UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat pemerintahan dapat dianggap menyalahgunakan wewenang jika:
1. Bertindak melampaui kewenangan;
2. Bertindak sewenang-wenang; atau
3. Bertindak melanggar prosedur hukum yang berlaku.
Sanksinya bisa berupa: pembatalan keputusan, pemberhentian, atau tuntutan ganti rugi..
Namun, jika ditemukan unsur pidana (misalnya niat jahat atau keuntungan pribadi), maka kasusnya bisa ditingkatkan ke ranah pidana.
Selain secara pidana dan administrative, tindakan politik juga bisa dilakukan kepada pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang. Menurut Pasal 17 ayat (2) huruf c UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, penyalahgunaan wewenang adalah: “Penggunaan wewenang oleh Pejabat Pemerintahan yang bertentangan dengan tujuan pemberian wewenang tersebut”. Dalam konteks DPRD, penyalahgunaan wewenang terjadi ketika Pimpinan DPRD, pimpinan fraksi, atau anggota Badan Kehormatan menggunakan kewenangan politiknya untuk menyingkirkan atau memberhentikan anggota DPRD lain. bukan berdasarkan hukum atau etika, melainkan atas dasar kepentingan politik pribadi, partai, atau kelompok tertentu.
Anggota DPRD mengucapkan sumpah untuk “menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya demi kepentingan rakyat.” Tindakan menyalahgunakan wewenang untuk memberhentikan orang lain secara tidak sah adalah:
1. Bentuk pelanggaran sumpah jabatan,
2. Pengkhianatan terhadap mandat rakyat,
3. Dan pelanggaran terhadap prinsip keadilan politik serta integritas lembaga.
Pertanggungjawaban politik merupakan bentuk tanggung jawab yang bersifat moral dan kelembagaan. Dalam konteks ini, pejabat DPRD yang terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang tidak hanya melanggar hukum administratif, tetapi juga telah melukai legitimasi politik dan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat. Bentuk sanksi politik yang dapat dijatuhkan antara lain:
1. Teguran atau peringatan keras dari Badan Kehormatan DPRD,
2. Pemberhentian dari jabatan alat kelengkapan DPRD (pimpinan, komisi, badan)
3. Rekomendasi pemberhentian antarwaktu (PAW) kepada partai politik
4. Penonaktifan sementara dari keanggotaan DPRD
5. Sanksi moral publik berupa mosi tidak percaya atau penilaian negatif dari konstituen.
Mosi tidak percaya adalah pernyataan resmi penarikan dukungan politik dari anggota lembaga perwakilan (misalnya DPRD) terhadap pimpinan lembaga atau pejabat politik tertentu, karena dianggap melanggar etika, menyalahgunakan wewenang, atau gagal menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan kata lain, mosi tidak percaya merupakan mekanisme politik untuk meminta pertanggungjawaban moral dan jabatan, bukan mekanisme hukum atau pidana, dimana pengajuan usulan mosi tidak percaya memungkinkan untuk dilakukan yakni cukup mengajukan secara tertulis oleh sejumlah anggota DPRD (biasanya minimal 1/3 dari total anggota) yang menyatakan hilangnya kepercayaan kepada pimpinan DPRD atau alat kelengkapan tertentu..
Kita semua berharap keputusan yang terbaik dalam hal ini. Keputusan yang berdiri diatas asas profesionalisme, proporsionalitas, keadilan dan kesetaraan didepan hukum. Sesungguhnya setiap kebijakan politik memiliki uji hukum dan konsekuensi hukum sehingga setiap pelaku kebijakan kiranya berhati-hati dalam mengambil suatu Keputusan, terutama yang memiliki dampak yang besar bagi orang lain..(*)






